Sabtu, 21 September 2013

Filosofi Shalat dan Sistem Demokrasi dalam Islam


Shalat memiliki fungsi sangat penting bagi umat islam. Shalat adalah fondasi dasar agama, tiang agama. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan beragama islam kalau tidak melakukan shalat. Shalat inilah yang akan mempengaruhi kepribadian yang terpancar dalam aktivitas sehari-hari. Sholat yang benar akan memberikan dampak yang luar biasa bagi manusia. Perintah shalat cermin kedisiplinan, kebersihan, keseriusan, keteguhan, dan kerelaan menjalankan perintah Tuhan. Karena itu tujuan utama daripada islam adalah membentuk akhlaq atau kepribadian umat muslim itu sendiri.

Shalat yang diwajibkan adalah lima kali sehari semalam. Yaitu dalam 24 jam kita dianjurkan untuk mengingat Tuhan, minimal selama 5-10 menit di setiap waktu shalat itu. Itu sebabnya seorang muslim yang taat tentu tidak akan pernah melupakan Tuhan dalam hidupanya. Karena di setiap harinya harus malakukan shalat. Mungkin filosofi ini yang mendasari Rasulullah SAW, menentukan shalat tidak secara mingguan, bulanan atau bahkan tahunan. Lamanya waktu shalat juga tidak memberatkan manusia. Tata cara dan ketentuan shalat sudah ditentukan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu aktivitas manusia di dalam menjalani kehidupan. Justru di waktu shalat inilah manusia dapat merehatkan fisik dan pikiran di saat bekerja.

Shalat wajib dapat dilakukan secara sendiri maupun berjamaah. Dalam kondisi yang tidak memungkinkan umat muslim bisa shalat sendirian. Jika kita melakukan shalat sendirian istilah yang sering dipakai kita hanya akan mendapat satu pahala. Namun, jika kita shalat berjamaah, maka pahala kita akan 27 kali lebih besar. Itu sebabnya islam menganjurkan bahwa shalat yang utama adalah shalat yang berjamaah (bersama-sama).
Ketentuan atau ajuran shalat berjamaah ini juga mengindikasikan bahwa bekerja secara jamaah juga akan lebih efektif dalam mencapai tujuan. Jika kehidupan kita ini hanya sendirian, kita mungkin tidak maksimal meraih sesuatu, atau bahkan malah gagal dalam perjuangan. Oleh karena itu islam mengajarkan agar kita berorganisasi, bekerja bersama untuk melakukan kebaikan di dunia ini. Anjuran berjamaah dalam shalat menunjutkan bahwa kita harus berjuang di jalan yang benar ini dengan saling bantu membantu atau gotoroyong. Dengan berjamaah, capaian-capaikan kita akan lebih maksimal dibandingkan dengan ketika kita melakukannya seorang diri.
Tempat shalat juga bermacam-macam tergantung kondisi yang kita temui pada saat waktu shalat. Shalat bisa di majid, mushala, rumah atau di tempat lain yang memenuhi syarat untuk melakukan shalat. Hal ini juga menunjukan bahwa dalam kehidupan ini kita pun akan memiliki peran, seting dan tema yang berbeda-beda. Bagi kita yang memiliki ketrampilan tingkat RT (Rukun Tetangga), kita harus maksimal berperan di lingkup RT, dan kita tidak boleh iri dengan saudara-saudara kita yang memiliki peran di atasnya (Lurah, Camat dan Bupati). Demikian juga dengan bidang-budang yang harus kita tekuni, mungkin ada yang berbakat jadi guru, dokter, ekonom, maupun politikus. Masing-masing harus saling melengkapi dengan kepandaian dan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian kita harus menghargai setiap kekurangan dan kelebihan seseorang dimana pun peran yang dapat mereka sumbangkan dalam perjuangan di dunia ini.
Kembali pada persoalan demokrasi, ternyata shalat memberikan kita sebuah pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana menjadi pemimpin dan makmum (penguasa dan rakyat). Imam adalah pemimpin, yang memiliki fungsi dan kedudukan penting, sama halnya dalam masyarakat. Pemimpin adalah panutan, rujukan bagi makmum. Apapun yang diperintahkan oleh pemimpin, jamaah harus mengikuti dan tidak boleh membantah atau menyangkal. Dengan catatan seorang imam tidak melanggar ketentuan di dalam shalat itu.
Karena begitu pentingnya kedudukan seorang imam, maka imam haruslah orang yang memiliki kelebihan di bandingkan makmum. Imam haruslah orang yang fasih bacaannya atau jelas kata-katanya. Karena kefasihan ini akan memberi rasa damai dan khusu’ dalam beribadah. Kefasihan berarti juga ke-jelasa-an kata-kata instruksi yang diucapkan. Karena ke-jelas-an ini akan memudahkan makmum mengikuti setiap perintah dan instruksi sang imam. Dengan demikian para makmum akan secara serentak dan serasi mengikuti gerak imam.

Seorang imam harus matang secara emosional. Imam tidak boleh pelupa, emosional atau bahkan tidak sehat akal. Karena hal ini akan sangat mempengaruhi kekhusukan dan ketertiban dalam shalat. Maka dari itu, imam dalam shalat sebaiknya dipilih yang lebih tua (selama criteria awal terpenuhi). Hal ini diharapkan agar doa dan instruksinya bijasana dan tidak menimbulkan kegelisahan makmumnya. Meskipun syarat umur ini tidaklah menjadi keharusan. Karena islam sangat menyadari manusia memiliki berbagai potensi yang berbeda-beda. Bisa saja, yang secara umur belum seberapa tetapi wawasan, pengalaman dan kematangan emosinya sangat matang.

Lain imam, lain makmum. Peranan makmum adalah mengikuti dan menirukan segala ucapan imam (sesuai ketentuan). Makmum harus mengikuti gerak yang dilakukan oleh imam. Makmum tidak boleh mendahului imam. Jika ada salah satu makmum yang mendahului imam, tentu akan merusak ritme gerakan yang bisa menggangu kekhusukan makmum lainnya. Hal ini sama halnya ketika dalam suatu masyarakat; jika ada beberapa golongan yang tidak seirama dengan pemimpinnya, tentu akan melahirkan gesekan-gesekan yang tidak baik bagi dinamika masyarakat itu sendiri.

Ketika imam melakukan sebuah kesalahan, tugas makmum adalah mengingatkan imam. Cara mengingatkan imam telah ditentukan; bagi laki-laki dengan menyebutkan kata “subhanallah”, sedangkan bagi makmum perempuan dengan tepukan tangan. Cara ini adalah cara yang sangat bijaksana, karena tidak akan mengganggu kekhusukan dalam shalat. Makmum tidak boleh mengingatkan imam dengan kata-kata yang terlalu keras atau bentakan. Makmum juga dilarang keras mengingatkan imam dengan kekerasan, apalagi mengkudeta sang imam.
Makmum dapat menggantikan imam dalam kondisi-kondisi darurat. Imam yang tiba-tiba berhalangan karena kentut, secara otomatis tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya. Sehingga imam harus tahu diri dan legowo untuk digantikan posisinya oleh makmum yang ada dibelakangnya.
Makmum yang dapat menggantikan imam adalah makmum yang berada di sebelah kanan belakang imam. Hal ini dimaksudkan agar dalam kondisi darurat makmum sudah tahu siapa yang berhak menggantikan imam. Jadi dalam kondisi darurat, tidak perlu ada yang saling tunjuk untuk menggantikan imam. Itu sebabnya sebisa mungkin orang yang ada di sebelah kanan-belakang imam adalah orang yang kualitasnya tidak jauh berbeda dari sang imam. Hal ini karena waktu pelaksanaan shalat sangat lah terbatas. Sehingga tidak diperlukan pemilihan, apalagi perdebatan ataupun pertengkaran tentang siapa yang berhak menggantikan sang imam.
Bagitulah ajaran mulia yang ada di dalam filosofi shalat yang harusnya diterapkan dalam kehidupan umat islam. Namun yang disayangkan, nampaknya masih perlu usaha yang cukup keras untuk menyadarkan akan persoalan ini. Semoga dengan kesadaran akan filosofi shalat, kita bisa menempatkan diri sesuai dengan kedudukan kita masing-masing. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentarnya :)