Jumat, 19 Desember 2014

Yakin 'Bela Rakyat' ?

Lagi-lagi heboh masalah BBM, seperti sebuah tradisi adat yang terjadi secara berkala.
Masalahnya sama, sebabnya sama, reaksinya sama, endingnya juga pasti sama.

Siapa sih yang senang dengan kenaikan harga BBM, tapi mau protes atau bahkan demo ke jalan malu rasanya.

Selama ini di Pom Bensin sudah terpampang tulisan PREMIUM UNTUK GOLONGAN TIDAK MAMPU/MISKIN, tapi banyak diantara kita (termasuk saya) yang sebenarnya mampu tetapi tidak malu untuk membelinya.

Masih mending kalau kendaraannya dipakai untuk sesuatu yang produktif, lha kalau untuk "jeng-jeng" saja ? untuk kebut2an? untuk konvoi? Sesungguhnya kita sendiri yang memaksa subsidi BBM terus dikurangi.

Apa benar kita tidak setuju dengan kenaikan BBM karena membela rakyat miskin? atau karena bingung jatah uang harian menjadi kurang?

Memangya selama BBM murah kita kemana saja? pernah peduli pada rakyat kecil ?
Mungkin banyak yang peduli, tapi jelas lebih banyak yang tidak peduli.

Memprotes sekeras apapun tidak akan berpengaruh apa-apa. Parahnya jika memprotes dengan diwarnai pengrusakan.

Jika seperti itu, jangan harap mendatangkan simpati.
Empatilah yang datang.

Mulai gaya hidup hemat dan produktif dari diri sendiri mungkin bisa sedikit berpengaruh.

Hanya Sekedar renungan pribadi.
Perbedaan pendapat adalah rangkaian crayon yang mewarnai dunia.
Semoga bermanfaat.

Rabu, 16 Juli 2014

Ketika Masjid Membutuhkan Sentuhan Para Ekonom Syariah


Oleh    :           Alief Reza Kurnia C.


Abstrak
Ketika mendengar istilah “Ekonomi Syariah”, yang muncul di benak para pegiat ekonomi syariah seringkali berputar di masalah perbankan, yaitu antara bank konvensional dan bank syariah, antara riba dan bunga. Kalau bukan masalah perbankan, kemungkinan besar yang muncul adalah pembahasan lembaga-lembaga keuangan syariah atau hukum-hukum mengenai berbagai aktivitas ekonomi apakah suatu transaksi ekonomi diperbolehkan atau tidak dalam ilmu fiqh muamalah. Hal itu semua tidaklah salah karena memang demikianlah inti dari ilmu ekonomi syariah, namun seringkali belum disadari bahwa Masjid, khususnya pada manajemen keuangan Masjid, juga membutuhkan sentuhan para pegiat ekonomi syariah, pegiat dalam hal ini bukan hanya para sarjana, master, ataupun doktor ekonomi syariah, termasuk juga para mahasiswa ekonomi syariah yang merupakan bibit-bibit pejuang ekonomi syariah. Keuangan Masjid jika dikelola dengan profesional, maka akan tercipta dana umat yang cukup menjanjikan.

Pendahuluan
Ketika Nabi SAW. memilih masjid sebagai langkah pertama membangun masyarakat madani, konsep masjid bukanlah hanya sebagai tempat sholat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah) tertentu, tetapi masjid sebagai majelis untuk memotivasi atau mengendalikan seluruh masyarakat (Pusat pengendalian masyarakat). Secara konseptual masjid juga disebut sebagai Rumah Allah (Baitullah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al jami’).
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid, dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Khattab ra. untuk membangun fasilitas dekat masjid, dimana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi, Umar ra. Membuat  ruang khusus di samping masjid.

Fenomena Masjid di Masa Sekarang
Melihat secara umumnya masjid di masa sekarang, terutama di hal kepengurusan identik dengan seorang Imam, khotib, muadzin, dan pengurus lain atau biasa disebut Ta’mir masjid. Ta’mir biasanya adalah orang yang sudah sepuh yang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang cukup untuk mengelola keuangan secara profesional dan syariah. Yang menjadi persoalan adalah masalah pengelolaan keuangan masjid biasanya dikelola secara apa adanya sesuai perolehan infaq. Padahal rata-rata perolehan infaq sebuah masjid hanya satu minggu sekali, yaitu pada saat Sholat Jumat, itupun tidak seberapa. Perhitungan sederhananya adalah jika pada saat sholat Jumat, jamaah yang hadir sekitar 200 orang, dan diasumsikan semua jamaah mengisi kotak infaq yang umumnya sebesar Rp 1000. Maka total pemasukan setiap Jumat adalah 200 x Rp 1000 = Rp 200.000, dikali 4 minggu maka menjadi Rp 800.000. Dana sebesar itu maka hanya cukup untuk membiayai kebutuhan operasional sehari-hari seperti listrik, air, maupun upah para marbot masjid. Lalu bagaimana jika masjid membutuhkan dana besar misalkan untuk renovasi besar-besaran? Yang terjadi adalah, pengurus masjid akan pontang-panting mencari sumbangan kesana-kemari, sehingga akan muncul kesan dari umat agama lain bahwa umat Islam identik dengan peminta-minta. Yang lebih memprihatinkan dari itu adalah masjid menjadi hanya sekedar tempat untuk sholat jamaah tanpa dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat  sekitarnya. Di sinilah dibutuhkannya peran ahli keuangan khususnya para ekonom syariah sebagaimana mereka mengelola sebuah bank Syariah ataupun lembaga keuangan lainnya.



Sebuah Terobosan untuk Ekonom Syariah
            Menjadi ekonom syariah tidak hanya berkutat pada area perbankan saja, namun para ekonom syariah juga dituntut untuk menjadi pengurus masjid dalam bidang pengelolaan keuangan. Terutama adalah dalam hal zakat, infaq, ataupun wakaf dan hibah. Semuanya harus dikelola secara profesional sebagaimana bank syariah, BMT, dsb. Namun, selain daripada sumber dana itu, sebuah masjid juga dapat mendapatkan sumber dana lain, tidak dapat dipungkiri bahwa jika kas masjid hanya mengandalkan dari infaq saja tidaklah cukup, harus ada terobosan baru. Salah satunya adalah sumber dana yang ditarik dari para jamaahnya.
            Jamaah masjid terbagi menjadi 2, yaitu :
1.      Jamaah tetap, adalah mereka yang rutin mengikuti sholat fardhu setiap hari, mereka adalah yang bertempat tinggal dekat dengan masjid.
2.      Jamaah tidak tetap, adalah mereka yang tidak rutin setiap hari mengikuti sholat fardhu, biasanya mereka bertempat tinggal lebih jauh dari masjid.
Yang dapat menjadi sumber pendanaan tambahan adalah para jamaah tetap. Ta’mir masjid harus memiliki database yang akurat mengenai semua jamaah tetapnya. Dari setiap jamaah yang terdata  maka diwajibkan untuk membayar iuran rutin diluar infaq dan iuran pembangunan. Penggunaan dana ini dapat digunakan untuk kebutuhan intern maupun ekstern.
Misalkan sebuah Masjid memiliki jamaah tetap sejumlah 40 orang, dari setiap mereka diwajibkan untuk menyetorkan dananya sebesar Rp 1000 setiap hari, sehingga dalam satu bulan akan terkumpul 40 x Rp 1000 x 30 hari = Rp 1.200.000.
Penggunaan dana untuk kebutuhan intern ditetapkan berdasar hasil musyawarah antara jamaah tetap, baik untuk keperluan pembiayaan aktivitas memakmurkan masjid  yang murni maupun untuk meningkatkan kesejahteraan anggota jamaah tetap ataupun yang terkena musibah maupun yang sedang dalam kesulitan hidupnya karena kemiskinan dan kefakiran dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari ataupun untuk aktivitas lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Misalkan ada jamaah yang mengalami kesulitan ekonomi dan berinisiatif untuk berwirausaha. Maka dana masjid tersebut dapat digunakan sebagai pinjaman modal untuk berwirausaha sebesar Rp 500.000. Akad yang digunakan adalah akad Qardhul hasan, si peminjam diwajibkan mengembalikan dananya secara utuh tanpa tambahan atau riba dengan cara mencicil, misalnya sebesar Rp 2000 per hari yang diperkirakan tidak akan memberatkan si peminjam.
Untuk kepentingan ekstern misalnya ada umat Islam dari wilayah lain membutuhkan dana untuk pembangunan masjid dapat mengajukan permintaan kepada pengurus masjid. Masjid yang terbangun dari dana masjid lain diwajibkan untuk mengembalikan dananya, tentunya tanpa tambahan yang mengakibatkan riba. Masjid baru tersebut juga dapat menggunakan sistem penarikan dana wajib kepada jamaah tetapnya.
Itu semua belum termasuk pada pendapatan dan pengelolaan dana utama seperti zakat, infaq, dan shodaqoh. Kesemuanya harus dikelola dengan profesional sebagaimana pengelolaan pada bank Syariah maupun Lembaga keuangan Syariah lainnya. Tentu para ekonom syariah-lah yang harus berperan, ekonom syariah ini dapat bekerja dengan menjadi Ta’mir masjid, dimana upah kepada mereka dapat diambil dari dana jamaah tadi. Sehingga masjid bukan saja dapat bermanfaat untuk tempat sholat, namun juga dapat menjadi pusat perekonomian umat Islam.
Satu hal yang harus diperhatikan dari konsep ini adalah menjawab tuduhan munculnya istilah “komersialisasi ibadah”. Hal ini jelas salah karena dana yang ditarik kepada jamaah akan kembali pula bermanfaat untuk mereka, dan jamaah tidak dipungut biaya atas ibadah mereka, melainkan atas tanggung jawab tempat ibadah mereka. Sama seperti ibadah Haji yang membutuhkan biaya puluhan juta rupiah bukan berarti bentuk komersialisasi ibadah, melainkan untuk fasilitas mereka sendiri. Dengan niat  yang tulus serta tekad yang kuat dari pegiat ekonomi syariah, diharapkan akan menjadi pelopor umat Islam untuk semakin memakmurkan Masjid, bukan hanya sebagai pusat Ibadah saja melainkan juga pusat perekonomian masyarakat. Wallahu alam bi showab.



DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Teuku dan Supardi. 2001. Konsep Manajemen  Masjid : Optimalisasi Peran Masjid. Yogyakarta : UII Press.

Aziz, Abdul dan Mariyah Ulfah. 2010. Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer. Bandung : Alfabeta.